AGEN EM4 PETERNAKAN PERIKANAN PERTANIAN

Produk EM4 merupakan kultur EM dalam medium cair berwarna coklat kekuning-kuningan yang menguntungkan untuk prtumbuhan dan produksi ternak dengan ciri-ciri berbau asam manis. EM4 peternakan mampu memperbaiki jasad renik didalam saluran pencernaan

ternak sehingga kesehatan ternak akan meningkat, tidak mudah stres dan bau kotoran akan
berkurang. Pemberian EM4 pada pakan dan air minun ternak akan meningkatkan nafsu makan ternak karena aroma asam manis yang ditimbulkan. EM4 peternakan tidak mengandung bahan kimiawi, sehingga aman bagi ternak.
Jpeg

Jpeg

Jpeg

Jpeg

P_20160606_145548

Manfaat:
Dapat digunakan untuk ternak ayam, bebek, burung dll
– Menyeimbangkan mikroorganisme yang menguntungkan dalam perut ternak
– Memperbaiki kesehatan ternak
– Menurunkan kadar gas amonia pada kotoran ternak
– Mencegah bau tidak sedap pada kandang dan kotoran ternak
– Mengurangi jumlah lalat dan serangga ternak
Cara Pemakaian:
– Air Minum Ternak
Larutkan EM4 untuk peternakan ke dalam air (1cc/1 liter air). Larutan ini kemudian dicampurkan ke dalam air minum ternak. Dapat diberikan setiap hari.
– Pakan Ternak
Larutkan EM4 untuk peternakan ke dalam air (1cc/1 liter air). Larutan ini kemudian disemprotkan ke dalam pakan ternak dan selanjutnya diberikan pada ternak.
– Mencegah bau pada kotoran/kandang:
Larutkan EM4 untuk peternakan dan molas ke dalam air dengan perbandingan 1 : 1 : 100. Larutan ini kemudian disimpan di tempat yang tertutup rapat selama 1-2 hari dan selanjutnya dapat digunakan untuk menyemprot kandang dan pada badan ternak dengan dosis 1-10cc larutan dalam 1 liter air.
CARA PEMBUATAN JERAMI FERMENTASI DENGAN EM4

Untuk membuat jerami fermentasi (untuk 1 ton jerami) alat-alat yang dibutuhkan itu, cangkul bergigi, ember/tong kapasitas 50 liter, gayung, terpal,  dan sprayer. Sedang bahan-bahannya dedak padi halus 20 kg, EM 4 ternak 2 liter, molasses (tetes tebu) 2 liter dan air sumur. Tahapannya sebagai berikut :

  1. Dicampurkan EM4 2 liter + molases 5 liter ke dalam air sumur sejumlah 50 liter. Lalu tutup dan diamkan campuran tersebut selama 24 jam campuran tersebut siap digunakan ditandai dengan timbulnya jamur putih pada bagian atas permukaan air.
  2. Di hamparkan jerami ditempat teduh dan kering setinggi 30 cm, sedikit demi sedikit, taburkan dedak secara merata pada permukaan jerami.
  3. Semprotkan larutan EM4 secara merata higga kadar air dalam jerami mencapai 30 %. Bila telah merata, hamparkan kembali jerami hingga setinggi 30 cm, ulangi perlakuan sampai tinggi maksimal 1,5 meter. Bila tinggi tumpukan mencapai 1,5 meter, tutup rapat-rapat jerami dengan terpal.
  4. Di lakukan pemantauan suhu fermentasi (suhu gundukan maksimum 50º  c) Bila suhunya lebih 50º C, maka terpal dibuka dan diamkan selama 30 menit. Bila suhu terlalu panas maka tumpukan sebaiknya dibongakar.
  5. Dalam waktu 21 hari jerami telah mengalami proses fermentasi yang ditandai dengan tumbuhnya jamur putih dipermukaan jerami. Bongkar dan angin-anginkan gundukan jerami sebelum disimpan ditempat teduh dan kering. Berikan jerami yang telah diangin-anginkan pada ternak 10% BB.

Melayani pesanan EM4, Harga Grosir. siap kirim ke berbagai kota yg berminat silahkan hubungi kami. Free ongkir via Shopee konekopetcare atau konekongawi atau konekopet. Instagram konekopetcare

AGEN SEKARBIO (manfaat dan fungsi sama dengan STARBIO)

Sekarbio merupakan hasil teknologi tinggi yang berisi koloni mikroba rumen sapi yang diisolasi dari alam untuk membantu penguraian struktur jaringan pakan yang sulit terurai. Adapun koloni-koloni mikroba tersebut terdiri dari mikroba yang bersifat proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan yang bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik

dengan kata lain, sekarbio adalah feed suplemen yang berfungsi membantu meningkatkan daya cerna pakan dalam lambung ternak. Sekarbio ini terdiri dari koloni mikrobe 9 ( bakteri fakultatif ) yang berasal dari lambung ternak ruminansia dan dikemas dalam campuran tanah dan akar rumput serta daun-daun yang telah membusuk.

P_20160609_060236P_20160609_060253

Jpeg

Jpeg

Manfaat :

1. lebih banyak zat nutrisi yang dapat diurai dan diserap (meningkatkan daya
cerna pakan)
2. kotoran tidak berbau
3. dengan pakan yang sama akan dihasilkan produksi lebih banyak
4. kualitas produksi akan meningkat
5. Kumpulan mikroba yg terdapat dalam starbio akan membantu pencernaan pakan dalam tubuh ternak,membantu penyerapan pakan lebih banyak sehingga pertumbuhan ternak lebih cepat dan produksi dapat meningkat.Hasilnya , FCR ( feed convertion ratio ) atau konversi pakan akan menurun sehingga biaya pakan menjadi lebih murah

CARA MEMBUAT

Bahan : sekarbio 6 kg , Pupuk Urea 6 kg , Jerami 1 Ton ( jerami 1 Ton sekitar 3 – 4  mobil pick up penuh ). Proses Starbio Ternak digunakan proses fermentasi jerami

  1. Jerami ditumpuk setinggi sekitar 30 cm kemudian taburkan sekarbio dan urea ( fungsi urea sebagai makanan probiotik sekarbio )
  2. lalu diperciki dengan air hingga kadar air mencapai 60% (jerami terlihat cukup basah tetapi tidak mengeluarkan air ketika diperas),
  3. Ulangi lagi setiap 30cm pada lapis berikutnya
  4. Proses fermentasi berlangsung selama 21 hari / 3 minggu.
  5. Setelah 21 hari, jerami segera dibongkar untuk dikeringkan / di angin anginkan sebagai stok pakan atau bisa langsung diberikan pada ternak. ( Setelah 21 hari warna jerami berubah menjadi coklat tua dan berbau seperti karamel )

(proses fermentasi yang melebihi 28 hari akan merubah jerami menjadi kompos).

Cara Meransum Komboran Sapi

Kebanyakan peternak sapi mengabaikan makanan tambahan,seperti komboran misalnya. Komboran sangat penting di berikan pada sapi,karena banyak kandungan Nutrisi yang terdapat di dalamnya,itu tentunya di dukung dengan bahan dan cara pembuatannya. Jarang peternak sapi memperhatikan hal tersebut,maka dari itu saya akan memberikan cara bagaimana meransum komboran untuk sapi.

Siapkan ember besar,air sumur,dedak halus ¨katul¨,garam dan starbio.Sekarbio selain mengandung nutrisi yang cukup tinggi juga menambah nafsu makan pada sapi. Tapi yang lebih unik adalah berpengaruh pada kotorannya,setelah di kasih Sekarbio kotoran sapi jadi tidak terlalu bau,tidak seperti kotoran sapi biasa.

Setelah ember besar,air sumur,dedak halus ¨katul¨,garam,dan starbio sudah tersiapkan semua,kita mulai langkah awal. Pertama siapkan ember besar lalu dedak halus ¨katul¨ di masukan,ukuran 25 liter ari,membutuhkan dedak halus ¨katul¨ 1 kg. Setelah dedak di masukan lalu garam,kurang lebih 2 sendok makan. Sesudah itu lalu Sekarbio di masukan,ukurannya 2 sendok makan. Setelah dedak,garam,dan Sekarbio di masukan kedalam ember besar baru di larutkan dengan air sumur yang sudah di sediakan. Aduk sampai rata dan siap di berikan pada sapi.Pemberian komboran pada sapi sebaiknya 1 hari 2kali,yaitu pagi dan sore.

sumber : http://ternaksapimetal.blogspot.co.id/2013/07/starbio-untuk-sapi-dan-starbio-untuk.html

Melayani pesanan Sekarbio, Harga Grosir. siap kirim ke berbagai kota yg berminat silahkan hubungi kami.Free ongkir via Shopee konekopetcare atau konekongawi atau konekopet. Instagram konekopetcare

MAKALAH PBL PATOLOGI SITEMIK DAN NEKROPSI

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan  dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah.Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula (Hayati dan Choliq, 2009).

Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi dan produksi ternak. Peternakan ruminansia yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan konvensional. Masih banyak permasalahan yang timbul dalam peternakan seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi berdampak pada rendahnya fertilitas induk, sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun atau dengan kata lain efisiensi reproduksi menurun. Akibat dari semua itu adalah lambatnya pertambahan populasi ternak dan produksi susu nasional. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada ternak ruminansia di antaranya adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Hayati dan Choliq, 2009). Sebagai contoh, kejadian retensio sekundinae dan endometritis adalah 32.95% dan 19.89% dari total kasus reproduksi di KPS Gunung Gede, Jawa Barat pada tahun 2003. Sedangkan abortus terjadi sekitar 2.96% (83 kasus) dari total kasus reproduksi di PT Taurus Dairy Farm, Jawa Barat selama tahun 1995-1999 (Fincher, et al., 1956)

 

 

Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus postpartus dapat mengakibatkan peradangan. Lingkungan uterus yang kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk mengakibatkan proses involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada saat dikawinkan mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah.  Beberapa parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI) (Hardjopranjoto 1995). CR merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, dan nilai CR yang ideal adalah sekitar 50%. S/C merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1.0. CI merupakan jarak antara kelahiran ke kelahiran berikutnya, dan nilai CI yang ideal adalah 12 bulan (Hafez, 1980). 

Gangguan reproduksi dan hubungannya dengan penurunan tingkat efisiensi reproduksi yang terjadi perlu dicermati sepanjang musim berkaitan dengan perubahan musim di Indonesia. Hal ini karena musim hujan dengan sanitasi lingkungan yang buruk, penanganan penyakit, dan keadaan ternak yang kurang baik dapat meningkatkan keparahan penyakit. Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan gangguan reproduksi. Setiap peternakan sebaiknya mempunyai pengelolaan ternak yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti pengelolaan pakan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan kesehatan (Bearden and Fuquay, 1992). Oleh karena itu sebagai mahasiswa kedokteran hewan harus mengetahui dan mempelajari mengenai penanganan dan penanggulangan penyakit reporoduksi pada ternak.

 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan rumusan masalah adalah kelainan reproduksi yang tinggi akan mempengaruhi rendahnya penampilan reproduksi bagi suatu usaha peternakan, sehingga penting untuk dilihat dan diketahui.

            1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan/gangguan reproduksi pada ternak sapi perah betina yang terdapat di Kabupaten Sinjai.

            1.4 Manfaat

Manfaat penelitian adalah untuk memperbaiki gangguan kelainan reproduksi dan memperbaiki penampilan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai.

 

DOWNER COW SYNDROM

Downer Syndrom atau paraplegia post partum merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada induk hewan yang sedang bunting tua atau beberapa hari sesudah partus yang memyebabkan sapi tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi tubuhnya karena adanya kelemahan pada bagian belakang tubuh.

Berberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adalah :

  1. Adanya kelemahan badan akibat menerima beban terlalu berat, mis : bunting dengan anak yang terlalu besar, anak kembar, induk yang menderita hidrop allantois
  2. Patah (frakture) tulang femur, sakrum, atau lumbal dan melesatnya (luxatio) pada persendian panggul
  3. Adanya benturan (contusio) pada otot di bagian tubuh sebelah belakang waktu berbaring atau menjatuhkan diri, sehingga ada kerusakan urat daging atau tulang pelvisnya
  4. Adanya osteomalasia karena defisiensi vitamin D (5) pembendungan pembuluh darah pada kaki belakang sehingga menimbulkan gangguan peredaran darah.

Gejala :

  1. Secara tiba-tiba induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak dapat berdiri karena adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejala ini bisa terlihat 2-3 hari sebelum partus.
  2. Keadaan umum dari tubuhnya tidak terganggu, sensitivitas urat daging paha masih baik, induk berbaring saja tanpa terlihat gejala-gejala kesakitan.
  3. Induk sering berusaha berdiri, kalau berdiri mencoba berjalan sempoyongan, kaki depan dan leher tetap kuat hanya bagian tubuh sebelah belakang yang lemah.

Diagnosa :

  1. Eksplorasi rektal dengan meraba seluruh bagian rongga pelvis dan tulang pelvis.
  2. Sensibilitas urat daging paha baik ditandai dengan bila ditusuk dengan benda tajam memberikan reaksi.
  3. Beberapa hari kemudian induk sapi akan dapat berdiri dengan sendirinya.

Komplikasi yang mungkin terjadi :

  1. Dekubitus : luka pada kulit dan otot, khususnya pada bagian tulang yang menonjol
  2. Prolapsus vagina : karena tekanan pada waktu berbaring oleh rumen terhadap uterus yang masih kontraksi.
  3. Gangguan pencernaan dan timpani : berkumpulnya udara dalam perut disebabkan berbaring diatas lantai kandang yang dingin dalam waktu yang lama.

Pengobatan :

  1. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi
  2. Saraf di kaki belakang dirangsang dengan memberikan vitamin B1 dan B6.
  3. Sebagai treatmen sapi harus sering di balik, minimal tiap 8 jam agar tidak terjadi ganguan sirkulasi darah pada sisi tertentu sehinggga menyebabkan sapi tidak akan mampu berdiri lagi.

 

PASTEURELLA MULTOCIDA

PENGENDALIAN
PREVENSI
1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut
a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.
2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:
–     Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.
–    Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.
3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut:
a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.
c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.

Vaksin inaktif
Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif (BAIN et al., 1982. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (BAIN et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional (YADEV dan AHOOJA, 1983).
Vaksin aktif par enteral
Blue variant
Beberapa galur P. multocida pernah dicoba sebagai vaksin aktif (hidup). HUDSON (1954) menggunakan blue variant yang diperoleh dari kultur broth yang lama. Variant ini bersifat kurang patogen untuk mencit. Pada kerbau strain ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan. Vaksin ini telah tidak digunakan saat ini.
Streptomycin-dependent mutant
WEI dan CARTER (1978) menggunakan streptomycin-dependent mutant strain Pasteurella multocida tipe B Mesir untuk mengimunisasi mencit. Di Sri Lanka mutant serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini dapat melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal (ALWIS et al 1980).
Vaksin hidup aerosol dengan aplikasi intranasal
Isolat P. multocida B;3,4 dari rusa di Inggris merupakan galur yang dipakai sebagai bibit vaksin aerosol (JONES and HUSSAINI, 1982). Isolat ini dapat menimbulkan haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar seperti elk dan rusa tetapi tidak pada sapi dan kerbau. P. multocida B:3,4 juga pernah diisolasi dari luka pada sapi perah di Australia (BAIN and KNOX, 1961) dan dari daerah nasopharynx sapi-sapi sehat di Sri Lanka (MYINT, 1994). Walaupun jarang terisolasi, pengamatan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa galur P. multocida B:3,4 ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya sehingga dapat memberikan proteksi silang (MYINT, 1994; RIMLER, 1996; PRIADI and NATALIA 2001).
Penelitian dengan cara semprotan partikel kasar vaksin secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Tetapi, semprotan partikel halus dengan alat semprot hair-sprayer yang dihubungkan dengan botol universal 28 ml memberikan proteksi terhadap SE lebih dari satu tahun (CARTER et al 1991; MYINT et al 1994). Inokulasi secara aerosol ini menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga dapat memberikan perlindungan yang lama, dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering beku untuk digunakan secara aerosol-intranasal pada ternak sapi dan kerbau (Gambar )Uji potensi dan keamanan vaksin telah diuji oleh FAO melalui FAO/TCP/MYA/4452 (A) pada tahun 1996. Secara resmi vaksin ini direkomendasikan oleh FAO/WHO pada tahun 1996 untuk dapat digunakan pada sapi dan kerbau. Uji serupa telah dilakukan Balai Penelitian Veteriner tahun 1999 dan dinyatakan berpotensi tinggi dan aman (PRIADI dan NATALIA, 2001
Secara umum vaksin hidup aerosol yang diintroduksi ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan vaksin yang beradjuvant yang selama ini digunakan di Indonesia; dalam hal:
1. Efektif melindungi sapi/kerbau terhadap
penyakit SE minimal selama 1 tahun
2. Tidak menimbulkan efek samping pasca
vaksinasi
3. Mudah diaplikasi (secara aerosol intranasal)
4. Mudah diproduksi
5. Lebih murah dibandingkan dengan vaksin
beradjuvant (Dosis kuman = 1/200 vaksin
beradjuvant)

SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE)

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorraghic Septecaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi atau kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi Kerugian akibat penyakit ini cukup besar. Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorraghic Septecaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi atau kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Kerugian akibat penyakit ini cukup besar.

Di daerah endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan gejala klinis. Sesuai dengan namanya, pada hewan yang terinfeksi menunjukan gejala ngorok (mendengkur). Diagnosis ini kemudian dipertegas dengan isolasi dan identifikasi bakteri. Pemeriksaan  post mortem juga dapat menunjang diagnosis serta proses infeksi.

Dalam rangka mengendalikan penyebaran atau penularan penyakit ini maka perlu untuk  diagnosis terhadap penyakit SE. Diagnosis yang tepat melalui pemahaman dari karakteristik penyakit serta perubahan patologinya dapat menunjang penanganan yang tepat pula. Selain itu dengan mengetahui karakteristik penyakit dapat menentukan strategi dari penegndalian dan prevensi penyakit SE

 

1.2  Rumusan Masalah

  1. Apakah etiologi dari septicaemia epizootica?
  2. Bagaimana patogenesa dari septicaemia epizootica?
  3. Apa saja perubahan patologi dari sapi yang terserang septicaemia epizootica?
  4. Bagaimana pengendalian atau prevensi dari penyakit septicaemia epizootica?

 

1.3  Tujuan

  1. Untuk mengetahui etiologi dari septicaemia epizootica.
  2. Untuk mengetahui patogenesa dari septicaemia epizootica.
  3. Untuk mengetahui perubahan patologi dari septicaemia epizootica.
  4. Untuk mengetahui cara pengendalian atau prevensi dari septicaemia epizootica.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Penyakit SE (Septicemia epizootica), disebut juga Septicemia hemorrhagica, hemorrhagic septicemia, Barbone dan penyakit ngorok. Penyakit SE disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Penyakit SE merupakan penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi serta kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda.

 

2.1 ETIOLOGI

            Septicaemia Epizootica (SE) disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Pasteurella    multocida dengan serotipe tertentu. Umumnya serotipe disetiap tempat memiliki perbedaan.  Didaerah Asia umumnya ditemukan Pasteurella    multocida serotipe B:2 sedangkan untuk daerah Afrika biasanya ditemukan serotipe E:2. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa terdapat serotipe tipe baru yang muncul yaitu serotipe B:6 dan E:6. Serotipe lainya dari Pasteurella    multocida yang dihubungkan dengan Septicaemia Epizootica ialah serotipe A: 1 dan A: 3, serotipe ini dihubungkan dengan kematian dari sapi dan kerbau di india (OIE 2009). 

Bakteri  Pasteurella   pertama kali ditemukan oleh pasteur pada tahun 1880 pada ayam yang menderita kolera. Kemudian pada tahun 1939 Rosenbusch dan Merchant membedakan secara tegas bakteri Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolise dan yang tidak. Pembagianya berupa Pasteurella  hemoliytica yang dapat menyebabkan hemolise dan Pasteurella multocida yang tidak menyebabkan hemolisa. 

Bakteri Pasteurella multocida berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus, dan bersifat bipolar. Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang baru di isolasi dari penderita dan diwarnai misalnya dengan cara Giemsa wright atau dengan karbol fuchsin. Bakteri yang bersifat negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Bakteri Pasteurella   rentan terhadap suhu panas rendah (550C). Selain itu bakteri ini juga sangat rentan terhadap disinfektan (OIE 2009) .

 

 

 

2.2 PATOGENESIS

Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ketanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi 2006).  

Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka. Selain itu kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin. Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi gemeretak.  Pada bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya eksudat dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu. Pada beberapa kasus kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah (Direktorat Kesehatan Hewan 1977).   

Umunya kasus SE bersifat aku dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedemasubmandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit  sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari.

Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Natalia & Priadi 2006). 

Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 430C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru teramati 12 Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi 12 jam sesudah infeksi. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah infeksi pada sapi. Dalam darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam sesudah infeksi pada kerbau dan sapi. Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian (Natalia & Priadi 2006).

 

2.3 PEMERIKSAAN POST MORTEM

Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada (Natalia, L dan Adin P., 2006). Dalam seksi terlihat adanya oedema pada glotis dan jaringan-jaringan paringeal maupun peritracheal (Subroto, 1985).  Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi (Losos, 1986). Graydonet al. (1993), melaporkan bahwa pada infeksi buatan, kebengkakan lebih nyata terlihat pada sapi dari kerbau.

Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik. Kelainan kelenjar limfe dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia (Siew et al., 1970) atau nekrosis yang nyata (Graydon et al., 1993). Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut nampak mengalami bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai usus besar. Kadang terjadi lesi berdarah pada usus (Subroto, 1985)

Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular. Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan perikardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Perdarahan dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat pada jantung (Natalia, L dan Adin P., 2006). Perdarahan petechiae, ditemukan pada atrium di bawah epicard (Subroto, 1985)

 

                            

Gambar 1. Cranial-ventral lobal pneumonia dan fibrinous pleuritis. Contoh dari pneumonic pasteurellosis.

 

                                 

Gambar 2. Pasteurella pleuritis dan  necrotizing pneumonia pada sapi.

           

 

Gambar 3 dan 4. Pada gambar 3 tampak bronkus yang terdapat pus. Pada gambar 4 menunjukkan Pasteurella pneumonia pada sapi. Lobus paru-paru dari sapi yang terinfeksi pateurella (P) tampak merah kehitaman dan  keras ketika di palpasi.

1. Patologi Anatomi

a. Bentuk busung

Telihat busung gelatin dan disertai pendarahan di bawah kulit kepala, leher, dada dan sekali-kali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan disekitar pharynx, epiglotis dan pita suara.Lidah sering sekali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar.Selaput lendir saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang diseratai selaput fibrin.Kelenjar limfa retropharyngeal dan cervical membengkak.

Rongga perut sering berisi cairan berwarna kekuningan sampai kemerahan.
Tanda-tanda peradangan akut hemoragik bias ditemukan di abomasum, usus halus dan colon. Isi rumen biasanya kering sedangkan isi abomasum seperti bubur.Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Seringkali terdapat gastroenteritis yang bersifat hemoragik. Limpa jarang mengalami perubahan dan proses degenerasi biasanya terjadi pada organ parenkim (jantung, hati dan ginjal).

 

b. Bentuk pectoral

Terlihat pembendungan kapiler dan pendarahan dibawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada bagian pleura terlihat peradangan dengan pandarahan titik dan selaput fibrin tampak pada bagian permukaan alat-alat visceral dan rongga dada.Terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, hidroperikard. Paru-paru berbentuk bronchopnemoni berfibrin atau fibronekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kosistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam atau satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin pada bagian-bagian nekrotik, sekat interlobular berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak beradang tampak hiperemik dan berbusung.Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.

c. Bentuk Intestinal

Bentuk campuran dari kedua bentuk diatas dan ditandai gastroenteritis kataralis hingga hemoragik.

2. Histopatologi

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis berupa hemoragi pada adventisia dan submukosa peritrachea, general pnemoni intertisial dengan hiperemi, oedema dan infiltrasi limfosit dan makrofag.Ditemukannya mikro koloni bakteri Pasteurella pada pembuluh limfe.Di hati terdapat cloudy swelling dan degenerasi lemak.Pada ginjal ditemukannya pignosis inti dari sel epitel tubular ginjal dan pada jantung terdapat hiperemia subepicardium dan hemoragi subendocardium.

 

 

 

 

2.4 PENGOBATAN

Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif sehingga pengobatan dapat diberikan antibiotika golongan penicillin dan preparat sulfa (antibakteri), tetapi bakteri ini mudah menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.Pemberian antibakterial yang efektif harus sedini mungkin dan dilanjutkan 1-2 hari setelah hewan terlihat normal. Apabila tidak ada perubahan dalam 24 jam setelah pemberian antibakterial spesifik, diberi obat yang baru atau ubah dosis (peningkatan dosis diatas petunjuk label) harus dari dokter hewan. Perubahan harus dilakukan secara kontinu sampai didapatkan efek bakterial yang efektif.

Perlindungan dan nutrisi yang cukup sangat dibutuhkan. Disarankan terapi tambahan dengan vitamin B yang diberikan dengan cara dicekok bersama pakan cair dan probiotik. Metode pengendalian penyakit yang efektif yang telah banyak digunakan saat ini adalah vaksinasi.Berbagai tipe vaksin telah digunakan dan menghasilkan derajat dan lama kekebalan yang bervariasi.Meskipun demikian, pengendalian penyakit yang efektif tidak hanya tergantung pada vaksin yang baik tetapi juga pada program vaksinasi yang strategis.

 

2.5 PENGENDALIAN PREVENSI

1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.

 

2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:
–  Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.

     – Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.

 

3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut:
a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.
c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.

4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.

 

Vaksin inaktif

Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif (BAIN et al., 1982. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (BAIN et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional (YADEV dan AHOOJA, 1983).

 

Vaksin aktif par enteral

Blue variant

Beberapa galur P. multocida pernah dicoba sebagai vaksin aktif (hidup). HUDSON (1954) menggunakan blue variant yang diperoleh dari kultur broth yang lama. Variant ini bersifat kurang patogen untuk mencit. Pada kerbau strain ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan. Vaksin ini telah tidak digunakan saat ini.

Streptomycin-dependent mutant

WEI dan CARTER (1978) menggunakan streptomycin-dependent mutant strain Pasteurella multocida tipe B Mesir untuk mengimunisasi mencit. Di Sri Lanka mutant serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini dapat melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal (ALWIS et al 1980).

Vaksin hidup aerosol dengan aplikasi intranasal

Isolat P. multocida B;3,4 dari rusa di Inggris merupakan galur yang dipakai sebagai bibit vaksin aerosol (JONES and HUSSAINI, 1982). Isolat ini dapat menimbulkan haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar seperti elk dan rusa tetapi tidak pada sapi dan kerbau. P. multocida B:3,4 juga pernah diisolasi dari luka pada sapi perah di Australia (BAIN and KNOX, 1961) dan dari daerah nasopharynx sapi-sapi sehat di Sri Lanka (MYINT, 1994). Walaupun jarang terisolasi, pengamatan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa galur P. multocida B:3,4 ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya sehingga dapat memberikan proteksi silang (MYINT, 1994; RIMLER, 1996; PRIADI and NATALIA 2001).

Penelitian dengan cara semprotan partikel kasar vaksin secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Tetapi, semprotan partikel halus dengan alat semprot hairsprayer yang dihubungkan dengan botol universal 28 ml memberikan proteksi terhadap SE lebih dari satu tahun (CARTER et al 1991; MYINT et al 1994). Inokulasi secara aerosol ini menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga dapat memberikan perlindungan yang lama, dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering beku untuk digunakan secara aerosol-intranasal pada ternak sapi dan kerbau (Gambar )Uji potensi dan keamanan vaksin telah diuji oleh FAO melalui FAO/TCP/MYA/4452 (A) pada tahun 1996. Secara resmi vaksin ini direkomendasikan oleh FAO/WHO pada tahun 1996 untuk dapat digunakan pada sapi dan kerbau. Uji serupa telah dilakukan Balai Penelitian Veteriner tahun 1999 dan dinyatakan berpotensi tinggi dan aman (PRIADI dan NATALIA, 2001

Secara umum vaksin hidup aerosol yang diintroduksi ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan vaksin yang beradjuvant yang selama ini digunakan di Indonesia; dalam hal:

1. Efektif melindungi sapi/kerbau terhadap penyakit SE minimal selama 1 tahun

2. Tidak menimbulkan efek samping pasca vaksinasi

3. Mudah diaplikasi (secara aerosol intranasal)

4. Mudah diproduksi

5. Lebih murah dibandingkan dengan vaksin beradjuvant (Dosis kuman = 1/200 vaksin beradjuvant)

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Septicaemia Epizootica (SE) disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Pasteurella    multocida dengan serotipe tertentu. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan. Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal.

Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh,  oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian.  Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan  serogelatinous terutama di daerah submandibula, leher dan dada. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik dan kelenjar limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia atau nekrosis yang nyata. Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular.Pencegahan SE yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian vaksin.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Direktorat Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE). Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Lokakarya Penyusunan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Cisarua, Bogor. Tahun 1976. Hal  37-48.

 

Graydon, R.J., B.E. Patten and H. Hamid 1993. The Pathology of Experimental Haemorrhagic Septicaemia in Cattle and Buffalo. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. No. 43

 

Losos, G.L. 1986. Infectious tropical diseases of domestic animals. Longman, Harlow, Essex. pp. 718 – 738.

 

Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam:  Puslitbang Peternakan . Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12 juli 2006. Hal 53-67.

 

OIE (The World Organisation for Animal Health). 2009. Haemorragic Septicaemia. http://www.oie.int/animal-health-in-the-world/technical-disease-cards/.  Di akses [15 Mei 2012].

 

Subroto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press

 

 

PARTUS NORMAL PADA SAPI DAN DOMBA

  • GAMBAR 5

Diagnose : partus normal pada sapi

Lama kebuntingan pada sapi FH adalah 283 hari sampai dengan 290 hari adalah normal pada beberapa sapi ras potong Continental. Posisi kelahiran normal pada sapi. Posisi anterior (kedepan) yaitu posisi kepala diletakkan pada kaki depan. Posisi posterior (ke belakang) yaitu kedua kaki belakang masuk dalam saluran peranakan dan bagian punggungnya mengarah ke punggung induk

 

 Perubahan Persiapan

Perubahan eksternal yang paling penting terlihat pada ligamentum ambing, vulva dan pelvis. Mendekati akhir kebuntingan ambing membesar dan tegang. Kolostrum muncul pada puting susu dan menjadi lebih tebal serta warnanya kuning pada saat menjelang kelahiran. Pada waktu mendekati kelahiran, vulva biasanya memanjang dan mungkin juga sedikit membesar dan oedematus. Lendir vagina yang jernih yang diduga mencairkan sumbat servik dan menyerupai saat estrus akan terlihat 24 – 48 jam sebelum melahirkan. Relaksasi ligamentum fetus terlihat pada akhir kebuntingan dan semakin jelas sewaktu mendekati kelahiran. Relaksasi ini merupakan tanda yang paling nyata dari proses kelahiran yang segera akan terjadi pada ternak sapi.

Tahap Pertama Kelahiran

Lamanya tahap pertama kelahiran ini berkisar 4 – 24 jam. Tanda – tanda eksternal pada tahapan ini adalah kegelisahan, nafsu makan berkurang, mencakar – cakar tanah, memutar dan berbaring dan kemudian dengan cepat berdiri lagi. Ekornya dinaikkan disebabkan  tremor otot belakang dan terkadang adanya perejanan. Apabila servik telah membuka sempurna, maka khorioallantois atau “kantong air pertama” akan segera pecah meskipun juga keadaan ini bisa pecah di dalam karena adanya hambatan kontraksi.

Tahap Kedua Kelahiran

Lamanya tahap ini berkisar ½ – 3 jam.  Sapi normalnya melahirkan dalam kondisi berbaring, terkadang juga bisa melahirkan dalam kondisi berdiri jika ada gangguan dalam proses kelahiran. Pada tahapan ini pedet akan keluar bersama dengan kantong amnionnya dalam bentuk kantong avaskular  berwarna keabu – abuan. Apabila amnion telah pecah maka intensitas pengejanan akan meningkat sehingga kontraksi uterus akan bertambah. Dengan keadaan tersebut, induk akan berusaha mengeluarkan kepala fetus melalui vulva dengan bergulung dari rebah sternal ke rebah lateral. Begitu kepala telah keluar maka sisa bagian tubuh yang lain akan dengan mudah mengikuti meskipun biasanya ada hambatan untuk mengeluarkan bagian dada dan pinggul pedet.

Tahap Ketiga Kelahiran

Tahapan ini merupakan tahapan pengeluaran membran fetus, biasanya akan segera dikeluarkan dalam waktu kurang dari 12 jam setelah kelahiran.  Retensi lebih dari 12 jam akan sering diikuti oleh periode retensi yang berlangsung dari 3 sampai 10 hari.

 

  • GAMBAR 11

Diagnose : partus normal pada domba

Tahapan Kelahiran Kambing

Posisi kelahiran normal pada kambing. Posisi anterior (kedepan) yaitu posisi kepala diletakkan pada kaki depan. Posisi posterior (ke belakang) yaitu kedua kaki belakang masuk dalam saluran peranakan dan bagian punggungnya mengarah ke punggung induk. Pada posisi ini biasanya memerlukan waktu lebih lama.  Pada keadaan normal kambing akan melahirkan setelah umur kebuntingan kurang lebih 150 hari.

 

Ada 3 tahapan kelahiran pada kambing diantaranya.

1. Menjelang kelahiran (Pre Partus)

Menjelang kelahiran terjadi proses pengenduran pinggul, kontraksi rahin dan pelebaran leher rahim untuk memperlebar saluran peranakan dan memudahlan kelahiran. Pada tahapan ini ambing terlihat membesar dan putting susu terisi susu. Tanda-tanda lain terlihat vulva (bibir vagina) berwarna kemerah-merahan, membengkak, lembab; nafsu makan menurun; Nampak gelisah; menggaruk-menggaruk ke tanah dan mengembik-embik. Tahapan ini bisa terjadi dalam waktu satu hari. Berakhirnya tahap ini ditandai pecahnya cairan ketuban

2. Kelahiran (Partus)

Kelahiran akan segera terjadi beberapa saat. Proses kelahiran diawali dengan keluarnya kantong ketuban, lalu kantong ketuban tersebut pecah Kelahiran akan segera terjadi beberapa saat. Proses kelahiran diawali dengan keluarnya kantong ketuban, lalu kantong ketuban tersebut pecah Tahapan ini dimulai dengan masuknya janin ke dalam saluran peranakan. Ditandai dengan kambing merejan dan mendorong-dorong urat daging perutnya. Tahapan ini tidak boleh berjalan lebih dari satu jam. Pada kondisi normal janin akan keluar kurang lebih 15 menit. Apabila janin tidak keluar dalam waktu 45 menit dipastikan terjadi permasalahan kelahiran dan harus mendapat pertolongan.

3. Setelah melahirkan (Post Partus)

Pada tahap ini terjadi

– Pengeluaran sisa-sisa setelah kelahiran (umumnya membutuhkan waktu paling lambat 12 jam)

– Pengecilan rahim ke ukuran normal membutuhkan waktu sampai 2 minggu

– Pengosongan cairan yang berlebihan di rahim, sebagian cairan ini keluar pada masa

setelah kelahiran atau lepasnya plasenta (jawa:ari-ari). Biasanya terlihat keluar lender dalam jumlah sedikit bercampur darah sampai 24 jam.

Beberapa masalah yang timbul pada tahapan ini:

a. Tertahannya sisa setelah kelahiran lebih dari 24 jam

b. Timbulnya lendir berwarna keruh menyerupai nanah dalam 2-3 jam setelah kelahiran

c. Adalahnya ledir yang semakin banyak, berbau busuk dan bernanah. Apabila tanda-tanda tersebut maka harus segera diobati tau menghubungi tenaga medis peternakan.